Awalnya, karena beberapa di antara anggotanya memang mencari pilihan-pilihan lain dalam hidup dalam pekerjaan, kemudian memilih profesi yang aksinya lebih nyata dan memberikan dampak langsung. Sebelumnya, para anggota Agradaya pernah tergabung di dalam Gerakan Indonesia Mengajar dan setelah itu bekerja di Jakarta, hampir setahun. Di antara anggota Agradaya yang lain bahkan ada yang bekerja sebagai konsultan dan bergerak di dunia fesyen.
Beralih profesi memang tidak mudah. Inilah pilihan hidup. Sebuah ‘panggilan’ mulia menariknya untuk keluar dari kota besar dan hijrah ke pelosok desa. Asri Iskandar, salah satunya, berpendapat bahwa tangan anak muda yang kreatif harus turut campur membangun bangsa dan menggarap potensi yang ada.
Agradaya memiliki home base di pedesaan Yogyakarta. Para anggotanya bekerja dengan masyarakat, khususnya dengan petani dan food artisan yang mayoritas perempuan. Selama proses berlangsung, terlihat potensi lokal dan jenius lokal. Ketika di desa, hasil pertanian dan pangan lokal sehat melimpah ruah. Semua sudah disediakan oleh alam. Ekplorasi pangan lokal dan agrikultur pun gencar dilakukan karena hal ini sangat dekat dengan masyarakat, khususnya perempuan. Dari sini, kondisi ekonomi para pekerja pangan di desa semakin membaik.
Fokus kerjanya adalah pada petani dan para ibu food artisan, dan desa menjadi pusat ekonomi yang bukan hanya menjadi pemenuhan kebutuhan orang di kota saja. Beberapa program yang sudah berjalan adalah bekerjasama dengan ibu-ibu buruh tani. Mayoritas buruh tani tidak memiliki lahan sendiri. Mereka bekerja untuk tuan tanahnya dengan penghasilan yang tidak seberapa dan tidak menentu. Sedangkan, kebanyakan suami mereka juga hanya buruh bangunan dan buruh tani. Misalnya, melalui produksi emping Agradaya mencoba menstabilkan penghasilan harian para ibu tersebut. Proses produksi bisa dilakukan di rumah masing-masing, mengingat kultur Jawa masih sangat kuat bahwa perempuan harus lebih sering di rumah. Pasaran emping menuai sukses di kota-kota besar di Indonesia, bahkan sampai Eropa. Para ibu pun yang mulai merasakan kenaikan pemasukan dan kesejahteraan yang selama ini mereka impikan, bahkan sampai 2-3 kali lipat dari penghasilan sebelumnya.
Program yang juga sedang berjalan adalah desa kombucha. Kombucha adalah minuman sehat (fermentasi teh) dengan kerjasama beberapa café vegetarian di Yogjakarta. Ibu-ibu diajari cara memproduksi minuman kombucha yang relatif mudah dan memiliki nilai ekonomi yang cukup baik. Agradaya juga berkolaborasi dengan beberapa penggiat pangan lokal untuk mengangkat kembali sumber pangan yang bernilai gizi tinggi tapi sudah hampir punah yaitu sorghum. Sorghum merupakan salah satu bahan pangan pokok masyarakat jawa zaman dahulu tapi dengan beralihnya zaman mayarakat Indonesia, sorghum tidak pernah lagi ditanam oleh petani di daerah-daerah. Padahal, sorghum memiliki gizi yang lebih baik dibandingkan nasi misalnya.
Tujuan dari kegiatan-kegiatannya adalah agar desa menjadi pusat aktivitas ekonomi, sesuai dengan potensinya yang melimpah. Warga desa setempat juga menyadari akan potensi ini dan juga mengembangkan kreativitasnya untuk menciptakan komoditas-komoditas yang berkualitas baik. Warga desa bukan hanya menjadi buruh tani tapi juga menjadi pemilik modal dan pemilik usaha dari produk yang dihasilkan. Ranah aktivitas pemberdayaannya memang belum luas, baru di Sleman dan Kulon Progo. Agradaya berfokus pada skala kecil saat ini, dan nantinya ingin memperluas aksesnya sehingga kesejahteraan ekonomi juga dirasakan di tempat lainnya. (MEL) Foto: Dok. Corbis
Source: https://www.dewimagazine.com/news-food/agradaya-inisiatif-yang-memberdayakan-potensi-desa-lewat-industri-pangan